Ada Cinta Di Atas Cinta
Handry Lumban Purba
Sore ini begitu cerah dan
indah, sungguh aku iri pada keindahan yang aku tatap ini. Langit biru yang mulai
gelap dengan awan berwarna orange memberiku kenyamanan tiada terkira. Membentang
luas pesona langit menjadikan aku tetap kecil di bawah langit. Di sini aku
masih duduk termanggu di sekitaran taman kampus yang tidak begitu indah.
Memikirkan jalan keluar atas permasalahan yang aku hadapi. Dengan perut kosong
yang sedari pagi tadi belum terisi nasi. Inikah rasanya kekurangan uang dan
kekurangan sahabat. Aku memang banyak memiliki teman, namun apa guna banyak
teman bila tiada sahabat yang sejati.
“Jis, beli rokoklah, uangnya dari loe dulu nanti kalo
udah dapet pinjeman, uangnya gua ganti” kataku kepada Ajis salah satu sahabatku
sejak pertama kali masuk di kampus ini. Sejak siang selepas pulang kuliah aku
bersama Ajis. Aku dan dia sering nongkrong bersama membicarakan bermacam-macam
hal. Ajis yang sudah mengerti keadaanku saat ini pun tidak berlama-lama
bergerak. Dia tahu apa yang harus dilakukannya, maka diapun bersiap membeli
kopi hitam dan rokok secukup uang di kantongnya.
Pertama
kali aku mengenal Ajis adalah saat ospek masuk ke Universitas Islam Sunan
Gunung Djati Bandung ini. Aku berkenalan dengannya sambil menawarkan kamar kost
yang kosong di tempat aku tinggal. Ajis yang asli dari Majalengka ini pun
tertarik dan akhirnya dia menjadi tetanggaku di Kosan Bosnia. Di kosan inilah
aku dan dia belajar untuk saling memahami. Yang kemudian seiring berjalannya
waktu, aku dan dia menjadi bersahabat.
Rokok
dan kopi mempererat persahabatan kita, dan kali ini dialah yang sedang memiliki
uang. Aku banyak bercerita kepada Ajis tentang segala rencana yang ada dalam
benakku. Berharap aku bisa menemukan sesuatu yang positif dan berkaitan dengan
rencana-rencanaku yang tertumpuk dalam pikiran. Yaa, walau aku tidak selalu
yakin akan ada inspirasi yang keluar dari lidahnya. Tapi setidaknya Ajis adalah
seorang sahabat yang bisa menjadi pendengar yang baik saat aku berbicara
tentang segala macam khayalanku.
Tak
lama Ajis datang dengan rokok gepe dan kopi dengan kap yang masih panas. “ini
bos Handry, rokok dan kopinya tlah datang” ujarnya dengan logat sundanya yang
kental. “beuh hatur nuhun pisan Jis, entar pasti diganti sama gua” jawabku
karena merasa merepotkannya. Lalu duduklah Ajis di depanku dan mulai membuka
topik pembicaraan baru, yakni membahas wanita. Dengan wajah yang sok dewasa dia
membuka kembali lembaran lama yang ingin sekali aku lupakan. Entah apa maksud
dan tujuannya membicarakan keadaanku setelah lebih dari tiga bulan aku putus
dengan mantan pacarku.
Ajis
mengingatkan kembali memori lama ketika aku masih bersama dengan mantan
pacarku. Dia membandingkan sifat dan sikapku saat aku masih bersama Gilmi,
Meycilya, Wilna dan Lia. Bagaikan peramal dia menebak-nebak diantara mereka
berempat aku paling tidak bisa melupakan Gilmi walaupun Lia adalah cinta
pertamaku ataupun Wilna, wanita yang terakhir putus denganku. Sedangkan Ajis
menganggap Meycilya sangat tidak pantas untuk aku rindukan keberadaannya.
Kata-kata Ajis yang secara panjang lebar ternyata mampu membuat kenangan manis
bersama Gilmi muncul dengan tiba-tiba. Namun Berkenaan dengan itu juga kenangan
buruk bersamanya ikut muncul kembali.
Memang
tidak terelakkan aku dahulu begitu mencintainya lebih dari apapun. Dan perbedaan
agama adalah alasan yang kuat bagi dirinya untuk lari dari kehidupanku yang
sesungguhnya sudah sangat tulus untuk mencintainya. Gilmi memang wanita keparat
yang bayangannya sangat sulit aku tumpas dari pikiranku.
“elu
kenapa gak nyari cewek lagi aja ban? Siapa tahu kalo lu punya cewek disini, lu
gak akan susah kayak gini lagi” ucap Ajis memecahkan suasana dengan memberikan
saran kepadaku. “Ah, kapok gua pacaran mulu kalo ujung-ujungnya kaya yang
udah-udah, tapi gak apa-apa sih kalo masih ada yang mau sama gua mah” balasku
dengan iringan tawa.
Akhirnya
pembicaraan ini menjadi terbatas seputar wanita saja bahkan hingga terlarut
dalam alasan yang dibuat-buat. Mirisnya tanpa disadari efek dari pembicaraan
ini menghasilkan pemikiran yang tidak aku inginkan. Kini aku mulai berpikir
bahwa aku akan memulai lagi kisah cintaku dari nol. Lalu memulai menulis bait
pertama pada halaman yang baru. “Oh, tidak.. ini tidak mungkin. Sepertinya yang
aku butuhkan saat ini bukan wanita dan cinta namun uang” ungkapku dalam hati.
Obrolan
asyik yang berlangsung lama sedari tadi seketika berhenti ketika suara azan
maghrib terlantun menggetarkan alam kota Bandung yang sudah gelap bermahkotakan
bulan sabit. Sepertinya aku harus pulang dan mulai merencanakan pergi ke kosan
teman yang sekiranya bisa memberiku pinjaman uang. “ Ban sekarang lu mau
kemana? Jadi lu minjem duit ke si Dodi?” “Iya gw mau ke Dodi dulu, mana tau dia
bisa kasih pinjem duit ke gua”. Akhirnya kita pun bergegas ke kosan
masing-masing, sebab aku dan dia memang sudah tidak tinggal satu kosan lagi
sejak setahun yang lalu.
Dengan
arah yang tepisah kami berjabat tangan dan beranjak ketujuan kami
masing-masing. Arah yang aku tuju kini adalah kosan kawan sekelasku yaitu Dodi.
Dodi ini adalah kawanku asli minang yang berasal dari Pariaman, Sumatera Barat.
Akhir-akhir ini aku sering menginap di kamarnya dan sering bersamanya dalam
urusan kegiatan kuliah di kampus. Kejenuhan di kamarku pun yang turut memberi
dorongan agar aku mencari suasana baru. Alhasil Dodi dan kamarnya menjadi
suasana baru itu. Semoga saat ini Dodi bisa memberikanku sedikit bantuannya
untuk menyambung hidupku di Bandung ini.
Langkahku
tidak gontai dan agak terburu-buru bagaikan sedang memburu sesuatu hal penting.
Banyaknya pedagang kaki lima pun tidak mampu menggoyahkan niatku untuk bergegas
sampai di kosan Dodi. Hanya harapan kecil yang ada dalam benakku. Yakni
pinjaman uang untuk membungkam lantangnya jeritan lapar dari perutku.
Akhirnya
aku pun telah sampai di halaman kosan kawanku. Tanpa beban, mataku langsung
menatap tajam kearah tangga. Kosan Dodi memang bertingkat, Dodi tinggal di
lantai dua dengan letak kamar paling pojok dan tergolong aman untuk
menyembunyikan gadis buronannya. Maklum, kawanku yang satu ini memiliki hobi
unik yang berkaitan dengan kaum hawa. Anak tangga pertama ku injak, lalu
seterusnya dan seterusnya. Kemudian aku langsung saja ke arah kamar kosnya.
Pintunya tidak tertutup, maka langsung saja aku memberi salam.
“Assalamualaikum” ucapku memberi salam. “Waalaikumsalam, eh Handry. Ayo sini
masuk” jawab Dodi membalas salam dan mempersilahkan aku masuk kamarnya.
“Abis
dari mana lu ndry?” “Biasa Dod, abis nongkrong di depan kampus bareng kawan gw”
“Oouh.., ah ga ngajak-ngajak nih” “dikirain lu sibuk, mkanya gak gua sms
elunya”.
Aku
dan Dodi berbasa-basi sambil mata kami menonton televisi yang sedari aku belum
datang, Dodi sedang menontonnya. Sesekali kami merespon tayangan di tivi dengan
opini atau komentar kami yang mendekati jenius. Karena kejeniusan kami, maka
kami hanya menjadi pengamat berita saja, itu pun di lingkup kosan. Kebiasaan
seperti ini seringkali muncul di kosan Dodi yang memberikan banyak warnadalam
pergaulan kami dengan teman kelas yang lainnya. Di sini, diskusi ringan dan
bebas kerap ditunjukkan oleh kami. Namun, dalam hitungan menit suasana akan
berubah ketika aku mengatakan, “Dod, punya duit gak? Gua minjem sedikitlah”.
Tebakkanku
kali ini tidak meleset dari perkiraan. Kali ini Dodi berkata sedang dalam
posisi tidak memiliki uang. Bahkan dia pun berupaya untuk meyakinkan bahwa aku
dan dia dalam keadaan yang senasib sepenanggungan. Dan Dodi pun merasa pusing
dengan keadaannya itu. Dodi dengan berujar kepadaku, dia baru akan meminjam
uang pada temannya besok. Itupun tidak pasti katanya.
Merasa
kenyataan hari ini pahit, akhirnya aku bertanya kepadanya. “Dod, kira-kira
siapa yang bisa minjemi duit sama gua yaa” tanyaku dengan wajah pucat pasi.
Beberapa nama teman dikelas pun disebutkan olehnya. Nama-nama mereka yang
disebutkan Dodi adalah mereka yang memiliki keadaan finansial yang sehat. “Ndry
mending lu coba minjem ke si Dewi aja, mana tau dia mau minjemin” jawab Dodi
mengarahkan aku pada salah satu kawan di kelas. Menanggapi sarannya yang
mungkin bisa diterima oleh akal, aku menimbang-nimbang ide itu. Yup, dulu aku pun
pernah meminjam uang padanya dan dia juga wanita yang cukup ramah.
Dirasakan
olehku saran Dodi sangat mungkin untuk menghasilkan yang diharapkan, maka tidak
ada salahnya bagiku mencoba. “Mungkin ini jawaban untuk problem hari ini”
pikirku dalam angan. Tidak butuh waktu lama dan tidak perlu membuang waktu
terlalu banyak aku pun bersiap untuk menuju kosan Dewi.
Kosan
Dewi tidak jauh dari kosan Dodi. Kosan Dewi berada di seberang jalan raya,
tepatnya di belakang mini market di sekitar kampus. Dia berasal dari Sumatera
Utara dan menurut sepengetahuanku dia orangnya cukup baik. Karena alasan itu
pula aku mau memberanikan diri mencoba meminjam uang kepadanya. Oh iya, walaupun
Dewi itu berasal dari Sumut tetapi Dewi itu bersuku jawa. Orangtua dan kakek
neneknya sudah lama menetap di Sumatera Utara dan semenjak itu mereka tidak
pernah lagi pulang ke Pulau Jawa.
Sama
halnya dengan Dodi, kamar kost Dewi bertingkat dua dan kebetulan kamar Dewi ada
di lantai dua paling pojok. Hanya bedanya, kosan Dewi lebih mahal dan tentunya
lebih bagus kondisinya. Suasananya cukup nyaman namun menurut kabar yang
beredar kosan yang dihuni Dewi ini tidak aman.
Aku
naiki saja anak tangganya perlahan-lahan agar suara langkah kakiku tidak
terlalu berisik. Setelah itu aku bergegas melewati lorong gelap yang panjangnya
hanya beberapa meter saja. Sebelum kamar Dewi aku melewati dua kamar, satu di
sebelah kanan dan satu lagi di sebelah kiri. “jadi atau jangan yaah gua minjem
duit, kok gua mendadak ragu” kataku dengan perasaan yang tidak enak. Namun
sudah terlanjur berada di tempatnya maka mundur adalah pilihan untuk mati. “tok
tok tok, Assalamualaikum.. Dewi..” aku mengetok pintu sambil mengucap salam dan
memanggil namanya. “Waalaikumsalam, siapa?” sahutnya dengan nada khas melayu
yang enak di dengar. “Ini gua Handry Lumban wi, gua ada perlu sebentar nih”
balasku lagi. Dan wow, akhirnya pintunya dibuka, kini aku bingung dari mana
harus memulai perkataan. “Tuhan bantu aku saat ini”. Aku mengeluh lirih dalam
hati.
Nampaklah
wajah Dewi dengan senyum kecilnya namun terheran dengan kedatanganku yang tidak
biasanya. Ketahuilah, apa yang aku lihat kini, mengingatkan aku pada rasa
dimana aku memperhatikannya di semester-semester lampau. Dimana aku merasa
wanita ini sama sekali tidak suka mencari gara-gara. Lalu aku menyukai segala kesederhanaan
yang dimilikinya. Baik sebagai teman atau... “oh, nggak, nggak.. itu gak
mungkinlah” kataku menepis pikiran yang tidak seharusnya aku pikirkan.
Memang
harus aku akui aku pernah ingin mencoba dekat dengannya namun aku belum
mencobanya dengan sangat baik. Aku berpikir, suatu ketika nanti mungkin akan
ada waktu bagi kami untuk berbicara jauh tentang Sumut atau hal yang lainnya.
Meskipun keinginan yang pernah ada waktu dulu sudah tidak ada lagi, namun
canggung masih melekat di dada ini. Tapi kembali ketujuanku, kini hanya satu
harapanku yakni mendapatkan pinjaman uang darinya. Dan sampai akhirnya, akupun
dipersilahkan masuk ke dalam kamarnya. Aku dipersilahkan masuk dengan cukup
ramah. Walau aku merasa dia sudah bisa menebak maksud kedatanganku ke tempatnya
adalah karena butuh sesuatu darinya.
Sungguh tidak aku
bayangkan, harga diri ini sudah sedikit berkurang dibanding saat permasalahan
duit tidak separah saat ini, “Dewi elu bisa kan ngobrol sama gua?” “begini wi
gua ada yang mau diobrolin nih”.
“mau ngobrol apa nih emangnya?” balasnya
kembali bertanya.
Sambil menahan malu, dengan berbelit dan kalimat yang
tertahan di ujung lidah aku memberanikan diri untuk berbicara jujur.
“Dedew lu
punya duit yang bisa di pinjemin gak sama gue, coz gue lagi butuh banget nih.
Minggu depan pasti gua ganti koq, lu tenang aje, percaya deh sama gua” ujarku
dengan untaian kata menghiba.
Sambil ku mencuri-curi pandang kepadanya, aku
menebak-nebak apakah dia akan memberikan aku pinjaman uang atau tidak. “Oh Dewi
gua mohon buat kali ini aja. Sambungkanlah hariku” ucapku dalam hati. Bersambung...