Sabtu, 22 Agustus 2015

Ada Cinta Di Atas Cinta

Ada Cinta Di Atas Cinta
Handry Lumban Purba

Sore ini begitu cerah dan indah, sungguh aku iri pada keindahan yang aku tatap ini. Langit biru yang mulai gelap dengan awan berwarna orange memberiku kenyamanan tiada terkira. Membentang luas pesona langit menjadikan aku tetap kecil di bawah langit. Di sini aku masih duduk termanggu di sekitaran taman kampus yang tidak begitu indah. Memikirkan jalan keluar atas permasalahan yang aku hadapi. Dengan perut kosong yang sedari pagi tadi belum terisi nasi. Inikah rasanya kekurangan uang dan kekurangan sahabat. Aku memang banyak memiliki teman, namun apa guna banyak teman bila tiada sahabat yang sejati.

            “Jis, beli rokoklah, uangnya dari loe dulu nanti kalo udah dapet pinjeman, uangnya gua ganti” kataku kepada Ajis salah satu sahabatku sejak pertama kali masuk di kampus ini. Sejak siang selepas pulang kuliah aku bersama Ajis. Aku dan dia sering nongkrong bersama membicarakan bermacam-macam hal. Ajis yang sudah mengerti keadaanku saat ini pun tidak berlama-lama bergerak. Dia tahu apa yang harus dilakukannya, maka diapun bersiap membeli kopi hitam dan rokok secukup uang di kantongnya.

Pertama kali aku mengenal Ajis adalah saat ospek masuk ke Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung ini. Aku berkenalan dengannya sambil menawarkan kamar kost yang kosong di tempat aku tinggal. Ajis yang asli dari Majalengka ini pun tertarik dan akhirnya dia menjadi tetanggaku di Kosan Bosnia. Di kosan inilah aku dan dia belajar untuk saling memahami. Yang kemudian seiring berjalannya waktu, aku dan dia menjadi bersahabat.

Rokok dan kopi mempererat persahabatan kita, dan kali ini dialah yang sedang memiliki uang. Aku banyak bercerita kepada Ajis tentang segala rencana yang ada dalam benakku. Berharap aku bisa menemukan sesuatu yang positif dan berkaitan dengan rencana-rencanaku yang tertumpuk dalam pikiran. Yaa, walau aku tidak selalu yakin akan ada inspirasi yang keluar dari lidahnya. Tapi setidaknya Ajis adalah seorang sahabat yang bisa menjadi pendengar yang baik saat aku berbicara tentang segala macam khayalanku.

Tak lama Ajis datang dengan rokok gepe dan kopi dengan kap yang masih panas. “ini bos Handry, rokok dan kopinya tlah datang” ujarnya dengan logat sundanya yang kental. “beuh hatur nuhun pisan Jis, entar pasti diganti sama gua” jawabku karena merasa merepotkannya. Lalu duduklah Ajis di depanku dan mulai membuka topik pembicaraan baru, yakni membahas wanita. Dengan wajah yang sok dewasa dia membuka kembali lembaran lama yang ingin sekali aku lupakan. Entah apa maksud dan tujuannya membicarakan keadaanku setelah lebih dari tiga bulan aku putus dengan mantan pacarku.

Ajis mengingatkan kembali memori lama ketika aku masih bersama dengan mantan pacarku. Dia membandingkan sifat dan sikapku saat aku masih bersama Gilmi, Meycilya, Wilna dan Lia. Bagaikan peramal dia menebak-nebak diantara mereka berempat aku paling tidak bisa melupakan Gilmi walaupun Lia adalah cinta pertamaku ataupun Wilna, wanita yang terakhir putus denganku. Sedangkan Ajis menganggap Meycilya sangat tidak pantas untuk aku rindukan keberadaannya. Kata-kata Ajis yang secara panjang lebar ternyata mampu membuat kenangan manis bersama Gilmi muncul dengan tiba-tiba. Namun Berkenaan dengan itu juga kenangan buruk bersamanya ikut muncul kembali.

Memang tidak terelakkan aku dahulu begitu mencintainya lebih dari apapun. Dan perbedaan agama adalah alasan yang kuat bagi dirinya untuk lari dari kehidupanku yang sesungguhnya sudah sangat tulus untuk mencintainya. Gilmi memang wanita keparat yang bayangannya sangat sulit aku tumpas dari pikiranku.

“elu kenapa gak nyari cewek lagi aja ban? Siapa tahu kalo lu punya cewek disini, lu gak akan susah kayak gini lagi” ucap Ajis memecahkan suasana dengan memberikan saran kepadaku. “Ah, kapok gua pacaran mulu kalo ujung-ujungnya kaya yang udah-udah, tapi gak apa-apa sih kalo masih ada yang mau sama gua mah” balasku dengan iringan tawa.

Akhirnya pembicaraan ini menjadi terbatas seputar wanita saja bahkan hingga terlarut dalam alasan yang dibuat-buat. Mirisnya tanpa disadari efek dari pembicaraan ini menghasilkan pemikiran yang tidak aku inginkan. Kini aku mulai berpikir bahwa aku akan memulai lagi kisah cintaku dari nol. Lalu memulai menulis bait pertama pada halaman yang baru. “Oh, tidak.. ini tidak mungkin. Sepertinya yang aku butuhkan saat ini bukan wanita dan cinta namun uang” ungkapku dalam hati.



Obrolan asyik yang berlangsung lama sedari tadi seketika berhenti ketika suara azan maghrib terlantun menggetarkan alam kota Bandung yang sudah gelap bermahkotakan bulan sabit. Sepertinya aku harus pulang dan mulai merencanakan pergi ke kosan teman yang sekiranya bisa memberiku pinjaman uang. “ Ban sekarang lu mau kemana? Jadi lu minjem duit ke si Dodi?” “Iya gw mau ke Dodi dulu, mana tau dia bisa kasih pinjem duit ke gua”. Akhirnya kita pun bergegas ke kosan masing-masing, sebab aku dan dia memang sudah tidak tinggal satu kosan lagi sejak setahun yang lalu.

Dengan arah yang tepisah kami berjabat tangan dan beranjak ketujuan kami masing-masing. Arah yang aku tuju kini adalah kosan kawan sekelasku yaitu Dodi. Dodi ini adalah kawanku asli minang yang berasal dari Pariaman, Sumatera Barat. Akhir-akhir ini aku sering menginap di kamarnya dan sering bersamanya dalam urusan kegiatan kuliah di kampus. Kejenuhan di kamarku pun yang turut memberi dorongan agar aku mencari suasana baru. Alhasil Dodi dan kamarnya menjadi suasana baru itu. Semoga saat ini Dodi bisa memberikanku sedikit bantuannya untuk menyambung hidupku di Bandung ini.

Langkahku tidak gontai dan agak terburu-buru bagaikan sedang memburu sesuatu hal penting. Banyaknya pedagang kaki lima pun tidak mampu menggoyahkan niatku untuk bergegas sampai di kosan Dodi. Hanya harapan kecil yang ada dalam benakku. Yakni pinjaman uang untuk membungkam lantangnya jeritan lapar dari perutku.

Akhirnya aku pun telah sampai di halaman kosan kawanku. Tanpa beban, mataku langsung menatap tajam kearah tangga. Kosan Dodi memang bertingkat, Dodi tinggal di lantai dua dengan letak kamar paling pojok dan tergolong aman untuk menyembunyikan gadis buronannya. Maklum, kawanku yang satu ini memiliki hobi unik yang berkaitan dengan kaum hawa. Anak tangga pertama ku injak, lalu seterusnya dan seterusnya. Kemudian aku langsung saja ke arah kamar kosnya. Pintunya tidak tertutup, maka langsung saja aku memberi salam. “Assalamualaikum” ucapku memberi salam. “Waalaikumsalam, eh Handry. Ayo sini masuk” jawab Dodi membalas salam dan mempersilahkan aku masuk kamarnya.

“Abis dari mana lu ndry?” “Biasa Dod, abis nongkrong di depan kampus bareng kawan gw” “Oouh.., ah ga ngajak-ngajak nih” “dikirain lu sibuk, mkanya gak gua sms elunya”.

Aku dan Dodi berbasa-basi sambil mata kami menonton televisi yang sedari aku belum datang, Dodi sedang menontonnya. Sesekali kami merespon tayangan di tivi dengan opini atau komentar kami yang mendekati jenius. Karena kejeniusan kami, maka kami hanya menjadi pengamat berita saja, itu pun di lingkup kosan. Kebiasaan seperti ini seringkali muncul di kosan Dodi yang memberikan banyak warnadalam pergaulan kami dengan teman kelas yang lainnya. Di sini, diskusi ringan dan bebas kerap ditunjukkan oleh kami. Namun, dalam hitungan menit suasana akan berubah ketika aku mengatakan, “Dod, punya duit gak? Gua minjem sedikitlah”.

Tebakkanku kali ini tidak meleset dari perkiraan. Kali ini Dodi berkata sedang dalam posisi tidak memiliki uang. Bahkan dia pun berupaya untuk meyakinkan bahwa aku dan dia dalam keadaan yang senasib sepenanggungan. Dan Dodi pun merasa pusing dengan keadaannya itu. Dodi dengan berujar kepadaku, dia baru akan meminjam uang pada temannya besok. Itupun tidak pasti katanya.

Merasa kenyataan hari ini pahit, akhirnya aku bertanya kepadanya. “Dod, kira-kira siapa yang bisa minjemi duit sama gua yaa” tanyaku dengan wajah pucat pasi. Beberapa nama teman dikelas pun disebutkan olehnya. Nama-nama mereka yang disebutkan Dodi adalah mereka yang memiliki keadaan finansial yang sehat. “Ndry mending lu coba minjem ke si Dewi aja, mana tau dia mau minjemin” jawab Dodi mengarahkan aku pada salah satu kawan di kelas. Menanggapi sarannya yang mungkin bisa diterima oleh akal, aku menimbang-nimbang ide itu. Yup, dulu aku pun pernah meminjam uang padanya dan dia juga wanita yang cukup ramah.

Dirasakan olehku saran Dodi sangat mungkin untuk menghasilkan yang diharapkan, maka tidak ada salahnya bagiku mencoba. “Mungkin ini jawaban untuk problem hari ini” pikirku dalam angan. Tidak butuh waktu lama dan tidak perlu membuang waktu terlalu banyak aku pun bersiap untuk menuju kosan Dewi.

Kosan Dewi tidak jauh dari kosan Dodi. Kosan Dewi berada di seberang jalan raya, tepatnya di belakang mini market di sekitar kampus. Dia berasal dari Sumatera Utara dan menurut sepengetahuanku dia orangnya cukup baik. Karena alasan itu pula aku mau memberanikan diri mencoba meminjam uang kepadanya. Oh iya, walaupun Dewi itu berasal dari Sumut tetapi Dewi itu bersuku jawa. Orangtua dan kakek neneknya sudah lama menetap di Sumatera Utara dan semenjak itu mereka tidak pernah lagi pulang ke Pulau Jawa.

Sama halnya dengan Dodi, kamar kost Dewi bertingkat dua dan kebetulan kamar Dewi ada di lantai dua paling pojok. Hanya bedanya, kosan Dewi lebih mahal dan tentunya lebih bagus kondisinya. Suasananya cukup nyaman namun menurut kabar yang beredar kosan yang dihuni Dewi ini tidak aman.

Aku naiki saja anak tangganya perlahan-lahan agar suara langkah kakiku tidak terlalu berisik. Setelah itu aku bergegas melewati lorong gelap yang panjangnya hanya beberapa meter saja. Sebelum kamar Dewi aku melewati dua kamar, satu di sebelah kanan dan satu lagi di sebelah kiri. “jadi atau jangan yaah gua minjem duit, kok gua mendadak ragu” kataku dengan perasaan yang tidak enak. Namun sudah terlanjur berada di tempatnya maka mundur adalah pilihan untuk mati. “tok tok tok, Assalamualaikum.. Dewi..” aku mengetok pintu sambil mengucap salam dan memanggil namanya. “Waalaikumsalam, siapa?” sahutnya dengan nada khas melayu yang enak di dengar. “Ini gua Handry Lumban wi, gua ada perlu sebentar nih” balasku lagi. Dan wow, akhirnya pintunya dibuka, kini aku bingung dari mana harus memulai perkataan. “Tuhan bantu aku saat ini”. Aku mengeluh lirih dalam hati.


Nampaklah wajah Dewi dengan senyum kecilnya namun terheran dengan kedatanganku yang tidak biasanya. Ketahuilah, apa yang aku lihat kini, mengingatkan aku pada rasa dimana aku memperhatikannya di semester-semester lampau. Dimana aku merasa wanita ini sama sekali tidak suka mencari gara-gara. Lalu aku menyukai segala kesederhanaan yang dimilikinya. Baik sebagai teman atau... “oh, nggak, nggak.. itu gak mungkinlah” kataku menepis pikiran yang tidak seharusnya aku pikirkan.

Memang harus aku akui aku pernah ingin mencoba dekat dengannya namun aku belum mencobanya dengan sangat baik. Aku berpikir, suatu ketika nanti mungkin akan ada waktu bagi kami untuk berbicara jauh tentang Sumut atau hal yang lainnya. Meskipun keinginan yang pernah ada waktu dulu sudah tidak ada lagi, namun canggung masih melekat di dada ini. Tapi kembali ketujuanku, kini hanya satu harapanku yakni mendapatkan pinjaman uang darinya. Dan sampai akhirnya, akupun dipersilahkan masuk ke dalam kamarnya. Aku dipersilahkan masuk dengan cukup ramah. Walau aku merasa dia sudah bisa menebak maksud kedatanganku ke tempatnya adalah karena butuh sesuatu darinya.

Sungguh tidak aku bayangkan, harga diri ini sudah sedikit berkurang dibanding saat permasalahan duit tidak separah saat ini, “Dewi elu bisa kan ngobrol sama gua?” “begini wi gua ada yang mau diobrolin nih”.

“mau ngobrol apa nih emangnya?” balasnya kembali bertanya.

Sambil menahan malu, dengan berbelit dan kalimat yang tertahan di ujung lidah aku memberanikan diri untuk berbicara jujur.

“Dedew lu punya duit yang bisa di pinjemin gak sama gue, coz gue lagi butuh banget nih. Minggu depan pasti gua ganti koq, lu tenang aje, percaya deh sama gua” ujarku dengan untaian kata menghiba.

Sambil ku mencuri-curi pandang kepadanya, aku menebak-nebak apakah dia akan memberikan aku pinjaman uang atau tidak. “Oh Dewi gua mohon buat kali ini aja. Sambungkanlah hariku” ucapku dalam hati. Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komunitas Pinggir Kontrakan

Komunitas Pinggir Kontrakan
K.P.K

Keripik Daun Melinjo

Keripik Daun Melinjo
Khas Bekasi